Powered By Blogger

Kamis, 24 Februari 2011

Freeport Mengangkangi Emas Papua

Di ketinggian 4200 m di tanah Papua, Freeport McMoran (FM), perusahaan induk PT. Freeport Indonesia mengangkangi tambang emas terbesar di dunia dengan cadangan terukur kurang lebih 3046 ton emas, 31 juta ton tembaga, dan 10 ribu ton lebih perak tersisa di pegunungan Papua. Berdasarkan perhitungan kasar, cadangan ini diperkirakan masih akan bisa dikeruk hingga 34 tahun mendatang.

Menurut catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak 1991 hingga tahun 2002, PT Freeport memproduksi total 6.6 juta ton tembaga, 706 ton emas, dan 1.3 juta ton perak. Dari sumber data yang sama, produksi emas, tembaga, dan perak Freeport selama 11 tahun setara dengan 8 milyar US$. Sementara perhitungan kasar produksi tembaga dan emas pada tahun 2004 dari lubang Grasberg setara dengan 1.5 milyar US$.

Berdasarkan laporan pemegang saham tahun 2005, nilai investasi FM di Indonesia mencapai 2 milyar dollar. Freeport merupakan perusahaan emas penting di Amerika karena merupakan penyumbang emas nomor 2 kepada industri emas di Amerika Serikat setelah Newmont. Pemasukan yang diperoleh Freeport McMoran dari PT Freeport Indonesia, dan PT. Indocopper Investama (keduanya merupakan perusahaan yang beroperasi di Pegunungan Tengah Papua) mencapai 380 juta dollar (hampir 3.8 trilyun) lebih untuk tahun 2004 saja. Keuntungan tahunan ini, tentu jauh lebih kecil pendapatan selama 37 tahun Freeport beroperasi di Indonesia.

Dalam nota keuangan tahunannya kepada pemegang saham, selama 3 tahun hingga tahun 2004, total pengasihan PT. Freeport kepada Republik Indonesia hanya kurang lebih dari 10-13 % pendapatan bersih di luar pajak atau paling banyak sebesar 46 juta dollar (460 milyar rupiah). Demikian Freeport juga mengklaim dirinya sebagai penyumbang pajak terbesar di Indonesia yang tidak jelas berapa jumlahnya. Menurut dugaan, pajak yang disumbang PT. Freeport Indonesia mencapai 2 trilyun rupiah (kurang dari 1% anggaran negara). Pertanyaan yang patut dimunculkan, apakah Freeport menjadi amat berharga dibanding ratusan juta pembayar pajak lainnya yang sebenarnya adalah warga yang patut dilayani negara? Atau dengan menjadi pembayar pajak terbesar, PT Freeport sebetulnya sudah “membeli” negara dengan hanya menyumbang kurang dari 1% anggaran negara? Bagaimana dengan agregat pembayar pajak yang lain?

Perusakan lingkungan

Sumbangan Freeport terhadap bangkrutnya kondisi alam dan lingkungan juga tidak kalah besar. Menurut perhitungan WALHI pada tahun 2001, total limbah batuan yang dihasilkan PT. Freeport Indonesia mencapai 1.4 milyar ton. Masih ditambah lagi, buangan limbah tambang (tailing) ke sungai Ajkwa sebesar 536 juta ton. Total limbah batuan dan tailing PT Freeport mencapai hampir 2 milyar ton lebih.

Prediksi buangan tailing dan limbah batuan hasil pengerukan cadangan terbukti hingga 10 tahun ke depan adalah 2.7 milyar ton. Sehingga untuk keseluruhan produksi di wilayah cadangan terbukti, PT FI akan membuang lebih dari 5 milyar ton limbah batuan dan tailing. Untuk menghasilkan 1 gram emas di Grasberg, yang merupakan wilayah paling produktif, dihasilkan kurang lebih 1.73 ton limbah batuan dan 650 kg tailing. Bisa dibayangkan, jika Grasberg mampu menghasilkan 234 kg emas setiap hari, maka akan dihasilkan kurang lebih 15 ribu ton tailing per hari. Jika dihitung dalam waktu satu tahun mencapai lebih dari 55 juta ton tailing dari satu lokasi saja.

Kemanakah Freeport membuang limbah batuan?

Limbah batuan akan disimpan pada ketinggian 4200 m di sekitar Grassberg. Total ketinggian limbah batuan akan mencapai lebih dari 200 meter pada tahun 2025. Sementara limbah tambang secara sengaja dan terbuka akan dibuang ke Sungai Ajkwa yang dengan tegas disebutkan sebagai wilayah penempatan tailing sebelum mengalir ke laut Arafura.

Berdasarkan analisis citra LANDSAT TM tahun 2002 yang dilakukan oleh tim WALHI, limbah tambang (tailing) Freeport tersebar seluas 35,000 ha lebih di DAS Ajkwa. Limbah tambang masih menyebar seluas 85,000 hektar di wilayah muara laut, yang jika keduanya dijumlahkan setara dengan Jabodetabek. Total sebaran tailing bahkan lebih luas dari pada luas area Blok A (Grasberg) yang saat ini sedang berproduksi. Peningkatan produksi selama 5 tahun hingga 250,000 ton bijih perhari dapat diduga memperluas sebaran tailing, baik di sungai maupun muara sungai.

Biaya yang dikeluarkan Freeport untuk mengatasi persoalan lingkungan berkisar antara 6070 juta dollar per tahunnya mulai dari tahun 2002. Total biaya yang telah dikeluarkan Freeport selama 3 tahun untuk urusan lingkungan sekitar 139 juta dollar atau setara dengan 6 kali lipat anggaran Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia.

Freeport tidak lagi menyebutkan Ajkwa sebagai sungai, tetapi sebagai wilayah tempatan tailing yang “disetujui” oleh Pemerintah Republik Indonesia. Freeport bahkan menyebutkan Sungai Ajkwa sebagai sarana transportasi dan pengolahan tailing hal mana sebetulnya bertentangan dengan hukum di Indonesia.

http://www.dimonim.com/detail.php?page=1&ber=235

Tidak ada komentar:

Posting Komentar